Rumah Tangga yang Indah: Saat Dua Hati Saling Menerima dan Melengkapi

Rumah Tangga yang Indah: Saat Dua Hati Saling Menerima dan Melengkapi

Karya: Elis Nur Hasanah, S.H. – Penyuluh Agama Kota Serang

Rumah tangga yang indah bukan tentang seberapa mewah bangunannya, bukan pula soal banyaknya harta yang dimiliki. Rumah tangga yang indah adalah ketika dua hati yang berbeda saling menerima dan saling melengkapi—bukan hanya dalam kebahagiaan, tapi juga dalam tanggung jawab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 21:

> "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
(QS. Ar-Rum: 21)



Ayat ini mengajarkan bahwa pernikahan adalah tempat untuk saling memberi ketenangan, menciptakan kasih sayang, dan merawat rasa. Tetapi semua itu tidak mungkin tumbuh jika salah satu merasa dipikul, sementara yang lain lepas dari beban.

Saling menerima, bukan berarti menoleransi ketidakadilan, tapi tentang memahami dan menunaikan peran masing-masing. Suami menerima kewajibannya sebagai kepala keluarga—yaitu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ia sadar bahwa menafkahi istri dan anak-anaknya bukan pilihan, tapi kewajiban. Sedangkan istri, menerima kodratnya sebagai pendamping suami, pelipur lara, sekaligus ibu bagi anak-anak yang kelak mereka besarkan bersama.

Namun, melengkapi bukan berarti istri harus ikut memenuhi nafkah keluarga ketika suami lalai atau tak maksimal dalam kewajibannya. Melengkapi bukan berarti istri harus menutup kelalaian dengan tenaganya sendiri. Melengkapi adalah saat keduanya hadir bersama dalam membangun keluarga—termasuk dalam mengasuh dan mendidik anak. Anak-anak tidak hanya butuh ibu yang kuat, tapi juga ayah yang bertanggung jawab.

Sayangnya, sering kali makna "melengkapi" dan "menerima" disalahartikan. Ketika suami tak menafkahi dengan layak, istri yang bertanya justru dianggap durhaka. Ketika istri lelah karena berjuang sendiri, ia malah dikatakan tak bersyukur. Padahal, istri tidak akan mungkin menyakiti suaminya jika suaminya tak lebih dulu menyakiti hatinya. Istri tidak akan menolak melayani suaminya bila ia merasa dicintai, dihargai, dan diberi kehidupan yang layak—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak-anaknya.

Anak-anak butuh makan, butuh pendidikan, butuh tempat tinggal yang aman dan nyaman. Semua itu bukan beban istri semata, tapi tanggung jawab utama suami. Bila suami benar dalam menjalankan kewajibannya, istri pun akan mencintai tanpa syarat, mengabdi tanpa pamrih, dan menjaga rumah tangga itu dengan segenap hatinya.

Dan jika seorang istri memilih diam… itu bukan karena tidak peduli. Tapi karena terlalu banyak beban yang ia pikul sendiri. Karena kekesalan sudah menumpuk di dadanya. Ia lelah berharap. Lelah menunggu. Lelah menerima keadaan yang tak kunjung berubah.

Ia menahan lapar bersama anak-anaknya. Ia menutup kekurangan dengan senyum yang dipaksakan. Tapi saat ia bertanya tentang nafkah, ia justru dianggap durhaka. Saat ia mengeluh, suaminya berkata ia tidak tahu bersyukur.

Padahal, istri hanya ingin dipenuhi haknya. Ia hanya ingin merasa dihargai, dicintai, dan diperlakukan selayaknya seorang istri. Karena rumah tangga bukan hanya soal cinta, tapi juga soal tanggung jawab. Bukan hanya soal kesetiaan, tapi juga keadilan.

Allah berfirman:

> "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
(QS. An-Nisa: 34)



Ayat ini adalah penegasan bahwa kepemimpinan suami bukan hanya tentang memerintah, tapi tentang menafkahi, menjaga, dan menunaikan hak keluarganya. Jika hal itu ditunaikan dengan baik, maka istri akan dengan mudah patuh dan taat, bukan karena takut, tapi karena cinta dan hormat yang tumbuh dari keadilan.

Rumah tangga yang saling menyakiti, saling menyalahkan, dan mengabaikan tanggung jawab—bukanlah rumah tangga yang harmonis. Itu bukan bentuk dari saling melengkapi dan menerima. Tapi bentuk dari ketimpangan, ketidakadilan, dan kegagalan memahami makna sejati pernikahan.

Pernikahan sejati dibangun oleh dua insan yang saling menjaga, bukan saling membebani. Saling menguatkan, bukan saling menyudutkan. Karena ketika suami benar menjalankan perannya, istri akan hadir dengan seluruh jiwanya. Dan ketika keduanya saling menunaikan tanggung jawab, maka rumah tangga akan menjadi tempat pulang yang penuh cinta—bukan hanya tempat tinggal, tapi tempat bertumbuh dan berteduh bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelita Hati Sepanjang Usia

Laporan Hasil Wawancara

“Sabar, Jalan Menuju Ketenteraman dan Kesehatan Jiwa”