HADITS HASAN DAN SHAHIH
HADITS HASAN DAN SHAHIH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
pada mata kuliah “Ulumul Hadits”
Disusun Oleh:
ELIS NUR HASANAH
172011044
PAI -B
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2018 M/1439 H
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alqur’an. Hadis memiliki
peranan penting dalam
menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun terutama ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat atau ayat yang bersifat normatif dan perlu penjelasan pada tataran
operasional, semisal shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Bagaimana
seharusnya shalat itu? tidak dijelaskan secara detail, namun hanya bersifat
global. Begitu pula
ibadah-iabadah yang lainnya. Bagaimana dikerjakan, syarat dan rukunnya apa
saja, itu semua dijelaskan melalui hadis nabi Muahammad SAW.
Dalam periwatannya ada hadis yang telah memenuhi
syarat-syarat tertentu untuk diterima sebagai sebuah hadis atau yang dikenal
dengan hadis maqbul (diterima), shahih dan hasan. Namun disisi lain ada pula hadis-hadis yang dalam
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu
(maudhu’), hal ini ditemukan setelah adanya upaya penelitian sanad maupun matan oleh para ulama untuk yang
memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hadits Shahih?
2. Bagaimana Kehujjahan Hadits Shahih?
3. Apa itu Hadits Hasan?
4. Bagaimana kehujjahan Hadits Hasan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HADITS SHAHIH
1.
Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih (الصَّحِيْحُ) menurut bahasa
diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim (السَّقِيْمُ) yang berarti orang
yang sakit. Jadi, yang dimaksudkan hadits shahih adalah hadis yang sehat dan
benar, tidak terdapat penyakit dan cacat.[1]
Sedangkan menurut istilah, para ahli berbeda redaksi dalam mendefinisikan
hadits shahih, di antaranya ialah:
a.
Abu Amr ibn ash-Shalah
الْحَدِيْثُ
الصَّحِيْحُ هُوَ الْمُسْنَدُ الَّذِيْ يَتَّصِلُ اِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَّابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ اِلَى مُنْتَهَاهُ وَلاَيَكُوْنُ شَاذًا
وَلاَمُعَلَّلاً.
Hadits shahih adalah musnad yang
sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang
yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mu’allal
(terkena ‘illat).[2]
b.
As-suyuthi
هُوَ مَااِتَّصَلَ سَنَدُهُ
بِعُدُوْلِ الضَّابِطِيْنَ مِنْ غَيْرِ شُدُوْدٍ وَلاَعِلَّةٍ
Hadits shahih ialah hadits yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith dan tidak
ditemukan kejanggalan, tidak juga ber’illat[3]
c.
Ajjaj al-Khathibiy
هُوَ
مَااِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِرِوَايَةِ الثِّقَةِ عَنِ الثِّقَةِ مِنْ أَوَّلِهِ اِلَى
مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُدُوْدٍ وَلاَعِلَّةٍ
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan
perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya
(rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits
shahih mempunyai lima kriteria, yaitu sebagai berikut.
1)
Sanadnya Bersambung
Artinya, setiap perawi dalam sanad
bertemu dan menerima periwayatan dari perawi sebelumnya, baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمي) dari awal sanad sampai akhirnya. Pertemuan atau
persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambang yang
digunakan oleh para periwayat:
a)
Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang
bertatap muka langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia
mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Periwayatan
dalam bentuk pertemuan langsung seperti di atas pada umumnya menggunakan
lambang ungkapan:
سمعت = aku mendengar,
حدّثني/ أخبرني /حدّثنا/ أخبرنا=
memberitakan kepadamu/kami,
رأيت فلانا = aku melihat si
Fulan, dan lain-lain.
Jika dalam periwayatan sanad hadits menggunakan kalimat tersebut,
atau sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (bersambung).
b)
Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang
meriwayatkan hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata
yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
فعل فلان/ عن فلان/ قال فلان=
si Fulan berkata: .../dari si Fulan/si Fulan melakukan begini.
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum,
maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui benar apakah ia
bertemu dengan syaikhnya atau tidak.
Untuk mengetahui
persambungan atau tidaknya suatu sanad dapat diperiksa dengan dua teknik
berikut.
a)
Mengetahui orang yang diterima periwayatnnya telah
wafat sebelum atau sesudah perawi berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini
harus dibaca terlebih dahulu biografi para perawi hadits dalam buku-buku Rijal
al-Hadits atau Tawarikh ar-Ruwah, terutama dari segi kelahiran dan
kewafatannya.
b) Keterangan
seorang perawi atau imam hadits bahwa seorang perawi bertemu atau tidak
bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat dengan orang yang menyampaikan
periwayatan atau tidak melihat. Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi
kuat yang memperjelas keberadaan sanad.[4]
2)
Keadilan para perawinya
Menurut bahasa, adil berarti lurus, tidak
berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur [5] dalam
istilah periwayatan, orang yang adil adalah:
مَنِ اسْتَقَامَ دِيْنُهُ
وَحَسُنَ خُلُقُهُ وَسَلِمَ مِنَ الْفِسْقِ وَخَوارِمِ الْمُرُوْءَةِ
(Adil adalah) orang yang kosisten
(istiqamah) dalam beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak melakukan
cacat muru’ah.
Dengan demikian, perawi
yang adil dalam periwayatan sanad-hadits adalah semua perawinya harus Islam dan
baligh, serta memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Istiqamah
dalam beragama, artinya orang tersebut konsisten dalam beragama, menjalankan
segala perintah, dan menjauhi segala dosa yang menyebabkan kefasikan.
b) Baik
akhlaknya.
c) Tidak
fasik. Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj ‘an ath-tha’ah),
mempermudah dosa besar atau melanggengkan dosa kecil secara kontinu.
d) Tidak
melakukan cacat muru’ah. Menjaga muru’ah artinya menjaga kehormatan
sebagai seorang perawi, menjalankan segala adab dan akhlak terpuji dan menjauhi
sifat-sifat yang tercela menurut umum dan tradisi.[6]
Sifat-sifat adil
para perawi dapat diketahui melalui:
a)
Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadits;
perawi yang terkenal keutamaan perawinya;
b)
Penilaian dari para kritikus perawi hadits tentang
kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi tersebut;
c) Penerapan
kaidah al-jarh wa at-ta’dil apabila tidak ada kesepakatan di antara para
kritikus perawi hadits mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.[7]
3)
Para perawi bersifat dhabith
“Dhabith” menurut bahasa, artinya yang kukuh, yang
kuat. Yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadits yang
bersangkutan dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik dengan hafalannya yang
kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya.[8]
Menurut ibn Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabith
adalah mereka yang kuat hafalannya dan mampu menyampaikan hafalan tersebut
ketika diperlukan. Dengan demikian, orang yang dhabith harus
mendengarkan secara utuh informasi yang diterima atau didengarnya, memahami
isinya sehingga tersimpan dalam ingatannya, kemudian menyampaikan kepada orang
lain atau meriwayatkannya.[9]
Menurut para ulama, sifat-sifat ke-dhabit-an
perawi dapat diketahui melalui:
a.
Kesaksian para ulama;
b.
Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain
yang telah dikenal ke-dhabit-annya.
c.
Tidak Syadz (Janggal/Rancu)
Syadz dalam bahasa
berarti ganjil, terasing, atau menyalahi aturan. Asy-Syafi’i yang diikuti para
ulama lainnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan syadz atau syudzudz (bentuk
jamak dari syadz) ialah hadits yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan perawi lain yang lebih kuat atau tsiqah.[10]
Sebenarnya kerancuan suatu hadits itu akan hilang
dengan terpenuhinya tiga syarat sebelumnya, karena para muhadditsin menganggap
bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan
dengan sejumlah hadits yang dikuasainya.[11]
4)
Tidak ber-‘illat
Dari segi bahasa, ‘illat berarti penyakit, sebab,
alasan, atau udzur. Sedangkan arti ‘illat di sini ialah suatu sebab tersembunyi
yang membuat cacat keabsahan suatu hadits padahal lahirnya selamat dari cacat
tersebut. Contoh hadits shahih:
حَدَّثَنَا
عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوْسُوْفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْن مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللَّهِ صلَّى الَّلهُمَّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ
(البخاري)
Hadits ini adalah berkualitas shahih, karena telah memenuhi 5 syarat,
yakni:
a)
Karena sanadnya bersambung, yakni masing-masing perawi
mendengar secara langsung dari gurunya. Adapun ‘An’anah yang dipakai oleh
Malik, Ibnu Syihab dan Muhammad bin Jubair bin Muth’im mengandung pengertian
muttashil, sebab mereka tidak dikenal suak menyembunyikan cacat (ghairu mudallisin).
b)
Karena seluruh perawinya bersifat adil dan dhabith.
c)
Hadits tersebut tidak terdapat syadz, karena tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat dari padanya.
2.
Macam-macam Hadits Shahih
a.
Shahih li Dzatihi
صَحِيْحٌ لِذَاتِهِ
هُوَالذِّيْ اِشْتَمَلَ عَلَى أَعْلَى صِفَاتُ القَبُوْلِ
“Shahih lidzatih ialah hadits yang
telah memenuhi syarat-syarat hadits maqbul secara sempurna.”
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih
li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh
dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya
telah tercapai dengan sendirinya.[13]
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas,
adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun
illat.
Jika kualitas daya
ingat perawi kurang sempurna, hadits shahih lidzatih turun kualitas menjadi
hasan lidzatih. Namun, jika kekurangan tersebut dapat ditutupi oleh adanya
hadits lain, dari sanad lain dengan perawi yang kualitas daya ingatnya lebih
kuat, naiklah hadits hasan lidzatih menjadi shahih lighairih.
b.
Shahih lighairih
هُوَمَالَمْ
يَشْتَمِلْ عَلَى أَعْلَى صِفَاتُ القَبُوْلِ يَعْنِى لَيْسَ هوَ بِصَحِيْحٍ فِى
الاَصْلِ وَاِنَّمَا اِرْتَقَى اِلَى دَرَجَةِ الصَّحِيْحِ بِجَابِرِ القُصُوْرِ
فِيْهِ
“Hadis shahih lighairih ialah hadits yang
tidak memenuhi sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu hadits yang
asalnya bukan hadits shahih, tetapi naik derajatnya menjadi shahih lantaran ada
faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada.”
Maksudnya ialah hadits
yang tidak secara sempurna memenuhi syarat-syarat tertinggi dari sifat-sifat
hadits maqbul (a’la sifat al-maqbul). Hal ini bisa terjadi karena perawi
haditsnya, yang sudah diketahui adil, ternyata dinilai kurang dhabit. Hanya
saja, hadits tersebut kemudian menjadi shahih karena ada hadits lain yang
redaksinya sama atau sepadan, datang dari jalur lain yang setingkat atau lebih
shahih, sejalan dengan ayat al-Qur’an atau dasar-dasar pokok keagamaan, atau
hadits yang penerimanya telah disepakati para ulama. Jika tidak ada hadits dari
jalan lain, status hadits yang perawinya kurang dhabith itu menjadi hasan,
bukan shahih.[14]
Contoh, hadits yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Muhammad bin Amr dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّواكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya aku tidak khawatir
memberatkan atas umatku, tentu aku perintah mereka bersiwak ketika setiap
shalat.”
Hadits di atas
berkualitas hasan lidzatih, karena semua perawinya bersifat tsiqqah (adil,
dhabith) selain Muhammad bin Amr, ia bertitel: shaduq (banyak
benarnya). Akan tetapi, hadits ini mempunyai jalan lain yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim melalui jalan Abu Az-Zanad dari Al-A’raj dari Abu
Hurairah. Maka hadits di atas kualitasnya dapat naik menjadi shahih lighairih.
3.
Kehujjahan dan Tingakatan Sanad dalam Hadits
Shahih
Pada dasarnya, para
ulama, baik dari kalangan ahli hadits, ushul, maupun fiqh, telah bersepakat
bahwa hadits shahih bisa digunakan untuk menetapkan hukum secara umum. Akan
tetapi, kesepakatan itu hanya terbatas pada masalah-masalah penetapan status
halal-haram, bukan yang berhubungan dengan akidah.
Stratifikasi hadits
shahih sendiri tergantung pada sejauh mana kedhabitan dan keadilan para
perawinya. Semakin dhabith dan adil seorang perawi, semakin tinggi pula
strata kualitas hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itu, dikenallah strata
sanad dalam hadits shahih, di mana para muhaddits membaginya menjadi
tiga, yaitu:
a.
Ashahhul asanidi (أصح الأسانيد)
Maksudnya ialah mata rantai sanad
yang paing tinggi stratanya. Para ulama sendiri berbeda-beda dalam menentukan
mana yang pertama dan utama, di antaranya ialah:
1)
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih (guru Imam
Bukhari). Keduanya menetapkan bahwa yang pertama dan utama adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi dari jalur Ibnu Syihab az-Zuhri, az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar, Salim dari
Ibnu Umar, Ibnu Umar dari Nabi SAW.
2)
Ibnu Madaniy dan al-Fallas serta Sulaiman bin Ibnu
Ibrahim berpendapat bahwa yang pertama dan utama adalah Muhammad Ibn Sirin dari
‘Abdillah as-Salmani dari Abi bin Abu Thalib dari Nabi SAW.
3)
Yahya ibn Ma’in berpendapat bahwa yang pertama dan
utama adalah Sulaiman al-A’masyiy Ibnu
Ibrahim, dari Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy dari al-Qamah bin Qais dari
Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi SAW.
4)
Abu Bakar Ibn Abi Syaibah berpendapat
bahwa yang pertama adalah az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari Husain bin Ali,
Ali bin Abi Thalib, dari Nabi SAW.
5)
Imam Bukhari berpendapat bahwa yang pertama adalah Imam
Malik bin Anas, dari Nafi’ Maula Umar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW.
Dari pendapat di atas, al-Hakim
berpendapat bahwa dasar penetapan ashhul asanid itu ada yang merujuk
pada sahabat tertentu, ada pula yang mengacu pada daerah tertentu, yaitu:
a.
Dari kalangan sahabat, yaitu Abdullah bin Umar bin
Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin al-Khattab, dari al-Qasim bin Muhammad bin Abi
Bakar, dari Aisyah, dari Nabi SAW.
b.
Dari kalangan Ahl al-Bait, yaitu Ja’far bin
Muhammad, dari Ayahnya, dari neneknya, dari Ali bin Abu Thalib, dari Nabi SAW.
c.
Dari daerah-daerah tertentu, seperti:
1)
Makah, yaitu Sufyan bin ‘Uyainah, dari Umar bin Dinar,
dari Jabir, dari Nabi SAW.
2)
Yaman, yaitu Ma’mar, dari Hammam bin Munabbih, dari Abi
Hurairah, dari Nabi SAW.
3)
Mesir, yaitu al-Laits, dari Yazid bin Abi Habib, dari
Abi al-Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhniy, dari Nabi SAW.
4)
Syam, yaitu Aabdurrahman bin ‘Amr al-Auza’iy, dari
Hassan bin ‘Athiyyah, dari Sahabar, dari Nabi SAW.
5)
Khurasan, yaitu al-Husain bin Waqid, dari Abdullah bin
Buradah, dari Ayahnya, dari Nabi SAW.
b.
Ahsan al-Asanidi (أحسن الأسانيد)
Maksudnya, mata rantai sanad yang
tingkatannya di bawah tingkatan pertama di atas, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Hamad bin Salamah dari Tsabit dari Anas dari Nabi SAW.
c.
Adh’af al-Asanid (أضعف الأسانيد)
Maksudnya adalah mata
rantai sanad yang tingkatannya di bawah tingkatan kedua, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah dari
Nabi SAW.[15]
4.
Kitab-Kitab Hadits Shahih dan Tingkatannya
Terkait starata hadits shahih
sendiri, para ulama bersepakat bahwa pada umumnya, tingkatan hadits shahih itu
secara berurutan adalah sebagai berikut:
a.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim—dikenal dengan istilah muttafaq ‘alaih.
b.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri.
c.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
d.
Hadits yang diriwayatkan dengan memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh Imam Bukhari, sekalipun tidak ditakhrij olehnya.
e.
Hadits yang diriwayatkan dengan memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh Imam Muslim, sekalipun tidak ditakhrij olehnya.
f.
Hadits-hadits yang dishahihkan oleh selain Imam Bukhari
dan Imam Muslim, seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, sekalipun tidak memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim[16]
B.
HADITS HASAN
1.
Pengertian Hadits Hasan
Kata حسن secara
bahasa berarti “yang baik/ yang bagus”. Menurut terminologis,
الحديث
الحسن هو الحديث الذي اتصل سناده بنقل العدل حف ضبطه غير شاذ ولا معلل.
Hadits
hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil,
yang rendah tingkat kekuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat.[17][18]
Ada juga definisi lain
: “tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh dusta,
(pada matannya) tidak ada kejanggalan (Syadz), dan hadits tersebuut
diriwayatkan pula melalui jalur yang lain[19]
Menurut Subhi
as-Shalih, hadits hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, dinukilkan oleh
penukil yang ‘adil, namun tidak terlalu kuat ingatannya meski tetap terhindar
dari keganjilan dan penyakit. Menurut at-Tirmidzi, sebagaimana yang dikutip
oleh Fathur Rachman, hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tidak
terdapat rawi yang tertuduh berdusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya,
dan hadits itu tidak diriwayatkan dari satu jalur periwayatan saja.
Dari definisi-definisi
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits hasan dan hadits shahih
pada prinsipnya sama dalam berbagai hal. Adapun perbedaannya terdapat pada kedhabitan
periwayat. Dengan demikian, dapat diformulasikan bahwa kriteria hadits hasan
adalah :
-
Sanadnya bersambung
-
Para periwayat bersifat adil (tidak ada yang bertuduh berdusta)
-
Di antara periwayat terdapat orang yang kurang dhabit
2.
Macam-Macam Hadits Hasan
a. Hadits
Hasan Lighairihi
Hadits hasan
lighairihi adalah suatu hadits yang meningkat kualitasnya menjadi hadits hasan
karena diperkuat oleh hadits lain, At-Turmudzi menjelaskan defini hadits hasan
dalam kitabnya :
وما
قلنا في كتابنا حديث حسن فانما اردنابه حسن اسناده عندنا : كل حديث يروى لايكون فى
اسناده من يتهم بلكذب. ولا يكون شاذ ويروى من غير وجه نموذلك فهو عندنا حديث حسن.
Hadits yang kami sebut sebagai hadits
hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami. Yaitu
stiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang didalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta; matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan
melalui sanad yang lain pula, yang sederajat. Hadits yang demikian mennurut
kammi adalah hadits hasan.
Uraian at-Turmudzi
terhadap istilah yang dipakainya dalam kitabnya itu tidak dapat dijadikan
uraian penjelasan istilah serupa yang disebutkan oleh umumnya para muhadditsin.
Uraian at-Tirmidzi di atas mencakup tiga poin kriteria hadits hasan yang
merupakan faktor-faktor pembeda antara hadits hasan dan jenis hadis lainnya.
Pertama, pada
sanadnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta. Kriteria ini
mengecualikan hadits seorang rawi yang dituduh berdusta, dan mencakup hadits
yang sebagian rawinya memiliki daya hafal rendah, tidak dijelaskan jarh dan
ta’dilnya, atau dipersilisihkan jarh dan ta’dilnya tetapi tidak dapat
ditentukan, atau rawi mudallis yang meriwayatkan hadis dengan an’ana
(periwayatan yang banyak menggunakan ‘an). Karena sifat-sifat rawi yang
demikian itu tidak bisa membuatnya dituduh dusta.
Kedua, hadits
tersebut tidak janggal. Orang yang peka dan waspada akan mengetahui bahwa yang
dimaksud dengan syadzz (janggal) menurut at-Tirmidzi adalah bahwa hadits
tersebut berbeda dengan riwayat para rawi yang tsiqat. Jadi disyaratkan bagi hadits hasan harus
selamat dari pertentangan, karena apabila ia bertentangan dengan riwayat para
rawi yang tsiqat, maka ia ditolak.
Ketiga, hadits
tersebut diriwayatkan pula melalui jalan lain yang sederajat. Yakni bahwa
hadits hasan itu harus diriwayatkan pula melalui sanad yang lain, satu atau
lebih, dengan catatan sederajat dengannya atau lebih kuat, bukan berada
dibawahnya agar dengannya dapat diunggulkan salah satu dari dua kemungkinan
sebagaimana yang dikatakan al-Sakhawi, tetapi tidak disyaratkan harus
diriwayatkan dalam sanad yang lain
tersebut dengan redaksi yang sama, melainkan dapat diriwayatkan hanya maknanya
dalam sat segi atau dalam segi-segi lainnya.[21]
At-Tirmidzi adalah
orang pertama yang mengeluarkan sebutan hadits hasan. Di lapisan pendahulunya –
seperti Imam Ahmad dan al-Bukhari – dan dalam sejumlah gurunya, ia menemukan
suatu hadits yang cencerung bersifat hasan, yakni dibawah shahih dan lebih
tinggi daripada dha’if.
Ibn Shalah berpendapat
bahwa kitab yang diduga banyak mengandung hadits hasan adalah sunan Abu Dawud.
Ini berdasarkan perkataan Imam Abu Dawud sendiri: “Aku telah menuturkan hadits
shahih, hadits yang menyerupainya dan mendekatinya. Mengomentari ucapa Abu
Dawud, Ibn Shalah berkata:”hadits yang disebutkan secara mutlak (tidak disertai
keterangan) dan tidak ada dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim)
serta tidak seorangpun menetapkan keshahihannya, hadits tersebut adalah hadits
hasan menurut Abu Dawud.[22]
Dengan demikian,
hadits hasan lighairihi mulanya merupakan hadits dha’if, yang naik menjadi
hadits hasan karena ada penguat. Jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena
penguat tersebut. Seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.[23]
Hukum Hadits Hasan
Lighairihi, dapat dipakai hujjah dan dapat diamalkam menurt jumhur ulama dari
kalangan Muhadditsin, ahli ushul, dan lainnya. Karena hadits hasan
lighairihi itu meskipun semula dha’if tetapi menjadi sempurna dan kuat dengan diriwayatkan melalui jalan
lain. Dengan demikian terabaikanlah kerendahan daya hafal atau kelalaian
rawinya[24]
b.Hadits Hasan Lidzatihi
Hadits hasan
lidzatihi, menurut Subhi as-Shalih dan para ulama hadits lainnya mengungkapkan
bahwa apabila hanya apabila hanya disebut hadits hasan maka yang dimaksud
adalah hasan lidzatihi Disebut hadits hasan lidzatihi karena ke-hasan-nannya muncul
karena memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.[25]
3.
Tingkatan Hadits Hasan
Adz-zahabi menyatakan
bahwa tingkatan hadits yang palung tinggi adalah riwayat Bahz bin Hakim dari
bapaknya dari kakeknya; dan riwayat Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya;
dan yang sejenisnya yang menurut suatu pendapat dinyatakan sebagai ahli hadits
shahih. Hadits hasan pada tingkatan ini termasuk hadits shahih pada tingkatan
terendah. Tingkatan berikutnya adalah hadits yang diperselisihkan kehasanan dan
kedha’ifannya, seperti hadits riwayat al-Haris bin Abdullah dan ‘Ashim bin
Dhamrah[26]
4.
Naiknya Hadits Hasan ke Derajat Shahih
Bila suatu hadits hasan
diriwayatkan melalui jalur lain, maka ia menjadi kuat dan naik dari derajat
hasan menuju derajat shahih. Karena perawi hadits hasan berada dibawah derajat
perawi yang sempurna hafalannya, namun tetap berstatus adil[27]
5.
Istilah-istilah dalam Hadits Hasan
Diantara berbagai
istilah yang digunakan untuk Hadits yang diterima ini termasuk :
-
Jayyid (bagus)
-
Mujawad (dianggap bagus)
-
Qawiy (kuat)
-
Tsabith (tetap)
-
Mahfudh (terpelihara)
-
Ma’ruf (dikenal)
-
Shahih (baik)
-
Muztahsin (dipandang bagus)
6.
Sumber-sumber Hadits Hasan
Para ulama belum pernah
ada yang membukukan hadits hasan secara terpisah, mereka mencampurnya dengan
hadits shahih dan mencampurnya dengan hadits dha’if. Di antara sumber-sumber
hadits hasan yang paling penting adalah :
-
Al-Sunan al-Arba’ah, al-Musnad karya Imam Ahmad
-
Musnad bin Ya’la al-Maushili
-
Al-jami’ karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi
(209-279 H)
-
As-Sunan, karya Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats
al-sijistani (202-273 H)
-
Al-Mujtaba,karya Imam AbdirrahmanAhmad bin Syu’aibal-nasa’i
(215-303 H)
-
Sunan Al-Mushtafha, karya Ibnu Majah Muhammad bin Yazid
al-Qazwini, seorang hafidz yang agung dan seorang mufassir (209-273 H)
-
Dll.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengertian Hadits Shahih
adalah, yang diriwayatkan oleh
para perawi yang Adil, Ke-dhabit-an pe-rawi-nya, antara Sanad- sanadnya harus
Muttashil, Tidak ada cacat atau illat, Tidak janggal atau Syadzdz.
2. Hadits Shahih
terbagi dua yaitu: Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi. Shahih lidztihi adalah Haidits yang Shahih dengan
sendinya, karena telah memenuhi, persyaratan hadits Shahih. Shahih ligharihi
adalah Hadits Hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang
sama atau yang lebih kuat dari padanya.
3. Sedangkan Hadits Hasan,
secara bahasa berarti Hadits yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan
jiwa.Persyaratan Hadits Hasan, yaitu: Para perawinya adil, Ke-
dhabith-an pe-rawi-nya dibawah peraai hadis shahih, Sanad-
sanad-nya bersambung, Tidak terdapat kejanggalan atau syadz, dan
Tidak mengandung illat.
4. Hadits Hasan
terbagi dua yaitu: pertama Hasan Lidzatihi yaitu Hadits yang Hasan
dengan sendirinya karena syarat- syarat-nya telah terpenuhi, yang kedua Hasan Lighairih, yaitu.Hadits yang pada
dasarnya lemah, namun periwayatan Hadits tersebut banyak riwayat, melalui
redaksi yang sama maupun mirip. Dan kedua hadits tersebut (Hadits Shahih dan
Hasan ) baik yang Lidzatihi dan
Lighairihi, menurut para Ulama dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil
yang kuat. Untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khathib, M. ‘Ajaj. 2013. Ushul al-Hadits—Pokok-pokok
Ilmu Hadits, ter. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Hasan, Mustafa.2012. Ilmu Hadis. Bandung:
Pustaka Setia.
‘Itr, Nuruddin. 2014. Ulumul Hadis, ter.
Mujiyo. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis.
Jakarta: Amzah.
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits,
ter. A. Muhtadi Ridwan. Malang: UIN-Malang Press.
Zein, M. Ma’shum. 2012. Ilmu Memahami Hadits
Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
[2]
M. ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul al-Hadits—Pokok-pokok Ilmu Hadits, ter. M.
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm. 276.
[3]
M. Ma’shum Zein, Ilmu
Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan Musthalah
Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 113.
[12]
Mahmud Thahhan, Intisari
Ilmu Hadits, ter. A. Muhtadi Ridwan, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 59-60.
[13]
Ahmad Umar Hasyim, Taysir Musthalah al-Hadis (t.d) h. 24
[14]
M. Ma’shum Zein, Ilmu
Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan Musthalah
Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 113-114.
[15]
M. Ma’shum Zein, Ilmu
Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan Musthalah
Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 115-117.
[16]
M. Ma’shum Zein, Ilmu
Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan Musthalah
Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 118-119.
[18]
‘Itr Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet
ke-3, 2014, hlm. 266
[19]Suryadilaga
Alfatih dkk, Ulumul Hadits, Yogyakarta : Teras, 2010. Hlm. 261
[20]
Suryadilaga Alfatih dkk, Ulumul Hadits, Yogyakarta : Teras, 2010.
Hlm. 261
[21]
‘Itr Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet
ke-3, 2014, hlm. 272-273
[22]
As-Shalih Subhi, Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013.
Hlm. 156
[23]
Al-khatib ‘Ajaj Muhammad, Ushul al-Hadits, Jakarta : Gaya Media
Pratama, cet kelima, hlm. 300
[24]
‘Itr Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet
ke-3, 2014, hlm. 275
[25]
Al-khatib ‘Ajaj Muhammad, Ushul al-Hadits, Jakarta : Gaya Media
Pratama, cet kelima, hlm. 300
[26]
‘Itr Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet
ke-3, 2014, hlm. 269
[27]
Al-khatib ‘Ajaj Muhammad, Ushul al-Hadits, Jakarta : Gaya Media
Pratama, cet kelima, hlm. 300
Semoga Bermanfaat
BalasHapus